Mendidik Pembantu

4a.jpgDi usiaku yang 30 aku sudah menjadi duda. Apa boleh buat, kami tidak bisa akur akhirnya pisah. Satu-satunya rumah yang kami dapat selama masa perkawinan kami jual dan hasilnya dibagi dua.
Aku hidup sendiri, rasanya kalau mengontrak rumah, aku tidak mampu mengurusnya. Mau cari pembantu, rasanya masih ragu. Bukan karena tidak kuat membayar, tetapi rumah dengan segala isinya dipercayakan kepada orang yang baru aku kenal rasanya terlalu riskan.
Keputuskan menyewa apartemen. Sebenarnya ingin yang tipe studio, tetapi dapatnya apartemen 2 kamar. Aku hanya menempati 1 kamar, kamar tidur yang lain aku jadikan gudang.

Rasanya tidak perlu terlalu panjang menceritakan diriku dengan segala macam tetek-bengeknya. Gambaran awal ini hanya aku ingin memperkenalkan diri .
Suatu saat aku mendapat undangan dari salah satu saudaraku. Rumahnya jauh di pelosok pedalaman Jawa Tengah. Aku punya hubungan baik dengan Oom ku ini, sebab ketika aku kecil, dia tinggal di rumahku sambil dia bersekolah sampai tamat menjadi ahli pertanian. Dia sekarang sudah pensiun dan memilih tinggal di pedesaan dengan alam yang sejuk.
Sudah lama aku tidak mengunjunginya. Memenuhi undangan perkawinan anaknya, bagiku sekaligus juga refreshing. Dengan mobil kebanggaan ku aku meluncur sekitar 12 jam baru sampai di rumah Paklikku. Pesta perkawinannya masih 2 hari lagi, jadi belum begitu tampak kesibukan.
Seperti biasa aku disambut bagai tamu besar, karena memang aku adalah satu-satunya tamu yang paling jauh. Aku senang dengan lingkungan rumah Oomku , lahannya luas dan hawanya sejuk. Aku seperti menginap di vila di puncak. Kamarku di lantai 2 memiliki pemandangan yang bagus kearah hamparan sawah yang menghijau.
.Singkat cerita acara perkawinan yang diadakan di rumah berlangsung dengan sukses. Aku masih tinggal di situ 2 hari lagi. Hobbyku mancing di sungai, yang membuat aku betah tinggal di rumah oomku.
Suatu sore sedang aku ngobrol dengan Oomku, istrinya, yang kupanggil Bulik datang bergabung. Dia langsung bertanya, apakah aku di Jakarta tinggal sendiri, sampai siapa yang mengurus rumah dan segala-macam . Tanpa kututup-tutupi aku membenarkan kalau aku hidup sendiri dan mengurus diri sendiri. Dia tanya kenapa tidak ambil pembantu. Lalu alasan yang kukemukakan tadi diatas kubeberkan kepada Bulik.
Bulik kemudian menawarkan kalau mau ada anak yang bisa jadi pembantu. Orang tuanya hidupnya susah dan anak ini terpaksa putus sekolah. Padahal dia masih ingin sekolah, tetapi karena tidak ada biaya jadi berhenti. Dia menawarkan aku kalau bisa membantu menyekolahkan dia sambil jaga rumah dan bantu-bantu membereskan rumah.
Aku tertarik oleh tawaran Bulik lalu aku ingin melihat anaknya. Bulik masuk kedalam . Sejam kemudian dia kembali bersama 2 wanita, satu anaknya yang dimaksud dan satu lagi ibunya. Ibunya memasrahkan aku untuk membantu menyekolahkan dia. Si Anak diam saja dan tertunduk malu. Kuperhatikan anak tersebut masih anak tanggung. Kasihan juga jika dia harus berpisah dengan orang tuanya dalam umur semuda itu. Dia manggut-manggut saja ketika aku tanya benar dia mau pisah ama orang tua dan sekolah di Jakarta. Aku lalu memutuskan untuk menerimanya, setengahnya aku bakal terbantu, setengahnya lagi aku membantu orang .
Mereka kemudian pamit. Aku kembali terlibat orbrolan dengan pamanku. Kami bercerita tentang berbagai hal. Dia banyak memujiku, karena dalam umur semuda ini sudah banyak menjelajah berbagai tempat di dunia. “ Ah itu karena tugas, jadi semuanya dibayari kantor . Kalau bayar sendiri mana kuat,” kataku. Aku lalu menyambung bahwa di sisi lain hidupku gagal. “ Ah ngak-apa-apa dik, laki-laki kalau soal itu nggak perlu kuatir,” katanya.
Sedang kami asyik mengobrol Bulik datang lagi tapi kali ini bawa rombongan. Maksudku selain ibu dan anak yang tadi datang, juga ada Ibu dan anak lainnya.. Bulik menjelaskan, kalau boleh anak yang akan ikut aku membawa temannya serta. Teman sebayanya itu juga drop out karena kesulitan biaya. Bulik mengutip kata-kata anak itu bahwa kalau sendirian di rumah dia takut. Apalagi akunya sering tugas keluar kota dan ke luar negeri.
Aku pikir ada benarnya juga, anak umur 12 tahun tinggal sendirian bisa berhari-hari. Tanpa pikir panjang permintaan itu aku setujui. Aku jelaskan bahwa besok jam 10 sudah siap dan langsung akan berangkat ke Jakarta. Mereka pamit dan berlalu.
Keesokan harinya jam 9 mereka sudah datang dan siap dengan bawaannya. Mereka masing-masing menenteng 1 kardus mi Instan. Aku bertanya kepada Bulik, kenapa mereka tidak membawa tas pakaian, kok malah bawa makanan. Bulik sambil berbisik, mereka tidak punya tas pakaian, jadi di dalam kardus itu adalah pakaian mereka.
Aku jadi terenyuh. Pola pikirku rupanya terlalu metropolitan, sehingga tidak memiliki wawasan pedesaan.
Setelah aku pamit dan kedua anak itu berangkul-rangkulan dengan orang tuanya mereka lalu masuk mobil. Mereka berdua duduk di belakang. Aku biarkan saja, mungkin mereka segan duduk didepan di samping ku dan mungkin juga tidak tahu tata cara pergaulan bahwa salah seorang seharusnya duduk didepan.
Sepanjang perjalanan aku banyak bertanya.. Yang pertama diajukan untuk ikut aku ke Jakarta namanya Ani dan temannya Lia. Mereka sebaya dan masih sangat lugu. Mereka memanggilku Pak. Aku jadinya tambah tua karena sebutan itu..Untuk mencairkan suasana yang kaku, ku ajak mereka bercanda. Akhirnya kami akrab, meski mereka tetap memanggilku Pak. Ah biarkan saja lah.
Dalam persinggahan untuk isi perut. Mereka malu-malu. Aku jelaskan bahwa tempat ini untuk makan dan sekaligus buang air. Jadi kalau tidak dimanfaatkan nanti lapar dan kebelet di tengah jalan. Akhirnya mereka turun berdua dan menuju toilet.
Selepas makan hari sudah mulai sore, kuperkirakan sampai di Jakarta sekitar jam 9 malam. Artinya sampai di Jakarta harus mampir makan dulu baru pulang kerumah. Aku ajak dia makan di gerai fast food. Geraknya agak canggung sehingga aku lah yang terpaksa memesankan makanan mereka. Di restoran itu kontras sekali. Mereka kelihatan ndeso dibanding tamu-tamulainnya yang lagi menyantap hidangan.
Sesampai di rumah kami harus kerja bakti dulu membereskan ruang tidur kedua yang aku jadikan gudang. Untungnya aku mempunyai kasur gulung, jadi meskipun sempit mereka bisa manfaatkan untuk tidur di situ berdua.
Aku prihatin sekali dengan keadaan mereka. Baju yang mereka bawa hanya 3 pasang, itu pun sudah kumal. Aku berjanji di dalam hati, mereka akan kuubah menjadi gadis metropolis yang keren, berapa pun biayanya akan aku bayar.
Pada hari libur aku ajak mereka berbelanja pakaian. Aku bawa ke departemen store. Entah karena malu dan segan atau bingung memilih, mereka tidak juga menentukan pilihan. Aku terpaksa turun tangan. Mereka aku belikan celana jean, kaus, pakaian dalam lalu sepatu dan sandal. Pindah lagi ke tempat lain aku belikan lagi stelan lain. Aku memilih model dengan hanya menebak-nebak saja. Paling tidak karena dipajang bagus yang yang kayak itu saja .
Sekembali ke rumah mereka aku minta mereka menjajal pakaian yang tadi kubelikan. Mereka senang menerima pemberianku . Tapi menurut penglihatanku tampilan mereka masih kelihatan ndesonya. Aku bukan ahli fashion, tapi kuingat ada teman cewek di kantorku yang selalu chik kalau berpakaian . dia akrab denganku bahkan sering curhat juga.
Suatu hari temanku, namanya juga Lia, kuajak makan siang dan kujelaskan bahwa aku perlu bantuan untuk mendadani , aku sebut saja saudaraku dari kampung . Dia setuju. “ Tapi ada feenya lho,” katanya bercanda.
Kami akhirnya jalan berempat ke Mangga Dua. Lia sibuk mencari dan mencocokkan baju-baju dan segala macam pernak perniknya. “ Berapa nih budgetnya,” tanya dia.
“Yah sejuta lah, seeorang cukup kan,” kataku. Yang disambut anggukan dan langsung disambar dengan jawaban “Feenya 10 persen” katanya.
“Beres,” kataku.
Dari pagi jam 11 sampai jam 3 sore baru selesai urusan belanja. Lia mengatakan kepada ku bahwa mereka juga harus dirapikan rambutnya. Aku pasrahkan saja. Lia memintaku menuju salon langganannya.
Tampilan kedua anak ini mulai agak bening. Meski kulitnya masih terlihat gelap, tetapi dengan dandanan rambut baru, mereka sudah mulai kelihatan modern.
Ku tanyakan ke Lia, apa tadi sudah dibelikan perlengkapan seperti bedak dan segala pernak-pernik perempuan. Dia bilang belum dan aku diminta singgah ke Pasar Baru. Di situ segala alat kosmetik dan entah apalagi di beli oleh Lia.
Buset belanjaku untuk kedua anak ini jadi banyak juga. Tapi tidak apa-apa, yang penting mereka jadi kelihatan tidak ndeso lagi.
Setelah sebulan mereka berada di rumahku mereka mulai trampil memasak dengan gas, dengan oven mengoperasikan mesin cuci, memanasi makanan di microwave, memasang DVD sampai main game online di komputer.
Tugas ku berikutnya adalah mencari sekolah mereka. Urusan ini tidak terlalu sulit jika ada pelicin. Aku mencari SMP yang dekat dengan apartemenku. Paling tidak mereka bisa naik bis satu kali pulang pergi
Mereka melanjutkan jenjang kelas 2 SMP. Pergaulan di sekolah membanntu sekali mengubah cara hidup desa menjadi kota. Mereka sudah mulai berbicara bahasa gaul ala Jakarta.
Aku memperlakukan mereka tidak ada jarak. Mereka sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri bukan sebagai pembantu. Jadi kalau nonton tv, ya kami sering duduk satu sofa.
Tidak terasa sudah setahun kami hidup bersama. Kedua mereka sudah tidak canggung lagi terhadapku, meskipun masih memanggil Pak. Kedua mereka cenderung manja dan sudah tidak ragu-ragu minta handphone segala. Permintaannya kupenuhi dan kuberi mereka masing-masing HP berkamera yang juga bisa menyimpan banyak lagu.
Mereka sudah berubah menjadi anak metropolitan. Selama setahun di Jakarta aku belum berkesempatan mengajak mereka rekreasi. Pada liburan berikutnya kami bertiga ke Dufan.
Giliran libur berikutnya kami ke gelanggang renang, juga di Ancol kami mengambil ruang ganti keluarga. Ani dan Lia tidak canggung-canggung lagi berganti pakaian walau ada aku di situ.
Aku memang membiasakan mereka dirumah untuk bebas dan tidak perlu harus merasa malu. Jadi mereka di rumah sudah biasa keluar kamar mandi hanya dengan berbalut handuk atau hanya mengenakan celana dalam dan singlet tanpa BH. Aku pun sering juga keluar kamar mandi hanya dengan celana dalam saja.
Bukan itu saja aku juga sering ngeroki mereka dengan uang logam jika mereka demam. Tentu saja mereka hanya mengenakan celana dalam dan tidur telungkup. Aku tidak berminat menggarap mereka, bukan karena aku gay, tapi seleraku adalah wanita dewasa.
Mereka sudah seperti anakku yang manja. Kalau aku menonton TV di ruang tengah, mereka suka melendot di kiri kananku. Dalam posisi seperti itu, tentunya mereka aku peluk di kiri dan kanan.
Ani sudah tumbuh menjadi gadis manis. Tidak ada lagi terpancar aura wanita desa. Rambutnya lurus sebahu dan gerak geriknya cenderung centil. Lia badannya lebih tinggi sedikit dari Ani dan kelihatannya buah dadanya lebih dulu berkembang dari sahabatnya.
Seperti umumnya anak-anak, mereka adakalanya tidak akur dan bermusuhan. Kalau sudah saling diam, aku lalu mendamaikan mereka. Biasanya aku selalu menanamkan kepada mereka bahwa saling berdiam itu bukan cara bermusuhan yang bagus. Cobalah terus mengajak omong walau didiamkan, Jika dia menyahut, berarti kamu yang menang kata ku kepada Lia. Kepada Ani hal itu juga kutanamkan.
Tapi dasar masih anak-anak menjelang remaja, emosi mereka sering mengalahkan logika. Kalau mereka sedang bermusuhan, salah satunya pasti minta tidur dikamarku. Kamarku memang terbuka, dan mereka bebas keluar masuk.
Kalau mereka tidur di kamarku, aku tidak menggoda atau melakukan apa-apa. Aku pikir mereka juga masih anak-anak, jadi masih ingin manja. Aku memang memanjakan keduanya. Tidak pernah sekalipun kumarahi. Mereka pun sangat mengerti bahwa aku mengidupi dan menyekolahkan mereka, sehingga tanggung jawabnya mereka penuhi benar-benar.
Tubuh mereka cepat sekali berkembang, aku tidak terasa bahwa mereka sudah 5 tahun tinggal bersamaku. Ani dan Lia sudah hampir tamat SMA. Walau pun mereka sudah tumbuh menjadi gadis dan usia mereka kini 17 tahun sikap mereka masih sering seperti anak kecil. Dada Lia sudah tumbuh cukup montok BHnya 34 B, sedang Ani 34 A. Aku tahu sebab jika mereka belanja pakaian dalam selalu minta aku menemani. Bukan itu saja kalau mereka belanja ke mall selalu menunggu aku punya waktu luang. Alasannya mudah ditebaklah, biar aku yang mentraktir mereka.
Walau badan mereka sudah tumbuh seperti gadis dewasa tetapi kelakuannya masih saja seperti anak-anak. Mereka sering minta tidur bersama ku, atau juga masih ngelendot.
Aku menjaga benar untuk tidak berbuat macam-macam dengan mereka. Aku merasa mendapat tanggung jawab dari orang tuanya, Jujur saja setelah mereka besar begini, jika mereka memelukku atau tidur bersamaku, penisku tegang juga. Tapi sejauh ini masih bisa kutahan.
Selama aku menduda, aku menyalurkan hasrat sexku dengan selingkuhanku. Dan kami selalu berbuat intim di motel-motel. Oleh karena itu aku tidak tertarik kawin lagi. Trauma beristri yang dahulu masih mengendap di dalam otakku. Dalam keadaan duda begini aku bisa bebas mendekati perempuan yang mana pun dan aku bisa melampiaskannya kepada mereka. Urusan di rumah aku tidak pusing lagi, karena ada 2 gadis yang mengurusnya. Jadi buat apa aku kawin lagi.
Ani dan Lia terbuka sekali. Dia selalu bercerita jika ada teman prianya yang naksir. Aku lalu memberi pandangan sesuai dengan keinginan mereka. Namun sampai sejauh ini mereka belum punya gebetan yang tetap. Ketika aku tanyakan kepada mereka kenapa belum punya pacar. Alasan klasik, ingin memusatkan belajar supaya pikiran tidak bercabang. Namun ada alasan yang aku bingung adalah mereka mengaku sayangnya cuma kepadaku.
Jika dulu waktu masih SMP mereka tidak pernah tidur di kamar ku, sekarang praktis malah mereka tidak pernah tidur di kamarnya. Manjanya makin menjadi-jadi.
Suatu hari Lia bercerita kepadaku, “ Pak si Andi tadi mencium pipiku, dia mau cium bibirku, tapi aku gak mau, takut Pak, “ katanya.
Aku katakan bahwa orang pacaran itu wajar jika ciuman di bibir. “ Aku kan nggak pernah dicium bibir Pak, malu dong kalau nanti aku nggak bisa,” katanya dengan nada polos. Dengan santainya dia berucap, “ Pak ajarin dong Lia ciuman bibir,” permintaannya itu bagai petir di siang bolong. Beberapa saat aku terdiam, bingung mau menjawab apa.
“Lia ciuman itu tidak perlu belajar, nanti kamu bisa sendiri, semua orang juga tidak ada yang belajar ciuman, kamu ini lucu,” kataku agak sedikit berusaha mengelak.
“Ah Bapak, Lia ingin belajar dari Bapak, Bapak jahat nggak mau ngajarin, “ katanya setengah merajuk.
Tidak ada lagi kata-kata untuk menolak permintaan Lia. Sehingga kemudian Lia kuminta duduk di sofa dan aku duduk didekatnya . Aku jelaskan mengenai tahapan orang berpacaran itu dalam bercium. “ Kamu perhatikan ya , sini Bapak peluk ,” kata ku sambil memeluk.
Aku menciumi dahinya, lalu pipinya dan pelan-pelan merayap ke bibirnya. Bibirnya sudah tengadah segera terbuka, Aku lalu memagutnya dan melakukan french kissing. Nafas Lia memburu. Ketika aku lepas ditariknya lagi kepalaku dan kini dia yang aktif menyerang dan memagutku. Aku mainkan lidah ke dalam rongga mulutnya dan dia membalas. Aku merasakan betapa empuknya payudaranya menempel di dadaku.
Kami berciuman sekitar 5 menit lalu kusudahi. Lia bersandar di dadaku sambil memelukku erat sekali. Nia yang dari tadi menonton adegan kami kemudian protes. “Aku juga diajari dong Pak, masa Lia aja,”
Aku turuti kemauannya, kami pun lalu berpagut dengan mesra. Kedua mereka kemudian memelukku dari sisi kiri dan kanan. Keduanya mengucapkan, “Aku sayang bapak.”
Sejak saat itu setiap kali aku akan berangkat kerja, atau kembali kerumah mereka selalu menyambutku dengan ciuman mesra. Bahkan kalau mau tidur mereka selalu minta berciuman.
Aku merasa lama-lama benteng pertahananku bisa jebol juga. Tapi aku berusaha sekuat mungkin jangan sampai jebol, makanya mereka aku arahkan agar berpacaran saja, sehingga birahi mereka yang mulai berkembang tidak bertumpu kepadaku. Tapi anjuranku yang satu ini tidak pernah berhasil.
Setelah mereka lulus SMA, mereka kuliah di jurusan ekonomi manajemen. Keduanya makin cantik dan sexy. Aku sering mengajak keduanya berdugem ria. Lia dan Nia kuajari untuk bisa sedikit menghirup minuman beralkohol rendah, seperti whisky soda, bir dan sejenisnya. Kami biasanya pulang dugem sudah agak teler sedikit, sehingga tidur dengan baju yang kami kenakan tadi.
“Pak kalau orang pacaran itu ngapain aja sih pak, “ kata Nia dengan polosnya. Aku geleng-geleng kepala melihat pernyataan mereka. Sesungguhnya mereka sudah menjadi gadis metropolis, tetapi otak kampungnya masih ada juga. Aku mau jawab apa dari pertanyaan ini.
Aku jelaskan bahwa berpacaran itu awalnya saling berpegang tangan, lalu berciuman dan saling meraba. “ Meraba apaan Pak,” kata Lia menyambung.
Aku berpikir sejenak, ini kalau aku teruskan aku memasuki zona bahaya. Tapi kalau aku tolak rasanya akan mengecewakan mereka. Toh selama ini kami sudah saling terbuka. “Ayo dong pak ajari aku pacaran,” kata Lia juga Nia.
Kepalaku penuh, berperang antara rangsangan dengan pertahanan, sampai akhirnya Lia menubrukku dan menciumku dengan agresif. Pertahananku jebol, aku menyambut ciumannya dan selang beberapa saat kemudian tanganku mulai meremas susunya dari luar bajunya . aku menciumi lehernya dan tanganku pelan-pelan masuk ke dalam bajunya sampai bisa meraih kedua bukit kenyal. Aku berusaha membuka bajunya lalu kedua susunya kuciumi dan pentilnya aku kulum-kulum. Setelah sekitar setengah jam aku berhenti. Lia berkeringat terbaring disofa dengan dada telanjang. Buah dadanya indah sekali dengan puting yang kecil dan bongkahan yang menggairahkan.
“Enak ya Li,” kata Nia yang dari tadi menyaksikan percumbuan kami. Aku bangkit lalu ke kamar mandi dan berusaha mandi untuk menurunkan suhu badan yang sudah memuncak.
Sekembali ke ruang tengah aku dipeluk dan dicium Lia. “ Pak makasih ya Pak, aku sekarang udah ngerti kenapa orang pada pacaran, abis rasanya enak sih,” katanya. Aku diam saja dan mengangguk.
Malamnya ketika mereka tidur bersama, Nia minta giliran diajari pacaran. Demi keadilan aku terpaksa memenuhi keinginan Nia. Aku tidak sekedar mencium dan menelanjangi dadanya, tetapi tanganku menjulur juga masuk ke rongga belahan kemaluannya. Aku memainkan clitorisnya sampai dia terengah-engah mendesis lalu berteriak lirih. Mungkin dia mencapai orgasmenya yang pertama seumur hidup.
Lia yang tiduran dibelakangku menarik tubuhku sampai menghadap ke dia dan menciumi aku. Aku juga membalas dan cumbuan kulanjutkan sampai meraih clitorisnya. Dia pun mendesah-desah dan akhirnya berteriak lirih.
Kami selanjutnya setiap malam selalu bercumbu demikian lalu berakhir kedua mereka tidur dalam keadan bugil. Mereka selalu minta dicumbu setiap malam sampai cumbuan aku tingkatkan dengan mengoral keduanya.
Aku rasa tingkat oral itu adalah yang terjauh yang boleh aku lakukan, selanjutnya aku harus bertahan.
Namun aku tidak mampu bertahan. Malam-malam berikutnya akhirnya aku pun minta dioral. Sebabnya kepalaku pening, karena sperma menumpuk tidak tersalurkan. Mereka trampil sampai menelan semua spermaku. Selepas itu kami pun tidur bertiga dalam keadaan bugil.
Entah hari apa aku lupa mengingatnya, Tengah malam aku terbangun karena ada sesuatu kurasa di kemaluanku. Aku intip dengan mata setengah tertutup, ternyata Lia mengoralku. Penisku yang tadi tidur jadi bangun dan mengeras. Aku berusaha pura-pura tertidur, menunggu apa yang akan dilakukan Lia.
Setelah mengoral dan aku berusaha menahan diri agar tidak ejakulasi, Lia kemudian bangun dan jongkok di atas penisku. Penisku dibimbingnya ke liang vaginanya dan dia berusaha memasukkan penisku ke vaginanya. Aku diam saja dan mau tahu sampai sejauh apa niatnya. Ternyata dia memaksakan penisku masuk ke vaginanya , walaupun dia berteriak lirih kesakitan, tetapi tetap berusaha menekan vaginanya ke penisku. Meski agak seret dan sulit akhirnya penisku semua terbenam. Lia berhenti sebentar dan dia meraba penisku, mungkin ingin memastikan sudahkah semua terbenam ke dalam vaginanya. Dia lalu menaik-turunkan pinggulnya . Rasanya sempit sekali, sehingga aku tidak mampu bertahan lama maka memancarlah spermaku ke dalam vaginanya. Mungkin Lia tidak tahu, dia tetap menggerak-gerakkan badannya sampai akhirnya penisku lepas dan lemas. Melihat penisku lepas dan lemas dia lalu bangkit dan tidur disebelah memelukku
Nia rupanya sudah terbangun dari tadi dan dia menonton aksi temannya. Mungkin dia terangsang atau memang dia menunggu giliran. Penisku dibersihkan dengan handuk basah oleh Nia. Aku tetap pura-pura tidur. Penisku masih loyo. Nia mulai mengoralku. Mendapat serangan oral, pelan-pelan penisku mengembang sampai akhirnya keras. Nia lalu mengikuti cara Lia tadi Dia jongkok diatasku lalu memegang penisku dan membimbing penisku ke vaginanya. Berkali-kali jika ditekan penisku meleset. “Li nggak bisa masuk, susah. “ kata Nia lirih.
Nia bangkit dan memegang penisku lalu ditepatkan ke depan liang vagina. Dia memerintahkan Nia agar dengan kedua tangannya membuka bibir vaginanya. Lia menginstruksikan agar Nia mulai merendahkan badannya. Penisku terasa menerobos masuk ke gerbang vagina sampai kepalanya terbenam. Nia berhenti dan dia mendesis sambil berkata,” Sakit Li, perih,” kata Nia.
“Tahan aja sebentar, gak apa-apa kok, coba sekarang tekan yang keras, “ kata Lia.
Nia menuruti perintah Nia dan dia berteriak kesakitan, tetapi semua penisku sudah terbenam. “ Aduh Li ngilu, perih,” Nia merintih dan dia tidak melakukan gerakan. Mungkin ada sekitar semenit Nia mulai melakukan gerakan.
“Gimana udah bisa masuk,” tanya Lia.
“Udah tapi masih perih, tapi enak juga ngganjel di dalam,” kata Nia.
Nia mulai menggerakkan badannya naik turun. Kadang-kadang sampai lepas. Tetapi ketika dimasukkan kembali tidak terlalu sulit sudah bisa terbenam lagi. Vagina Nia sudah licin oleh cairan pelumasnya. Dia kemudian bergerak maju mundur dan makin lama makin cepat sambil mendesis-desis, sampai akhirnya dia berteriak mendapat orgasme. “ Aduh enak banget Li, plong rasanya,” kata Nia.
Lia penasaran, karena dia mengaku kepada Nia tidak ada rasa enak, cuma rasa perih saja. “ Coba aja lu cobain sekarang,” kata Nia.
Lia bangkit lagi dan memegang penisku yang masih keras dan digosok-gosokkannya ke clitorisnya. Aku merasa ujung penisku ngilu, tapi tetap bertahan. Lia mulai mencoba memasukkan penisku ke vaginanya. Meski masih agak sulit, tetapi bisa juga masuk sampai terbenam seluruhnya. “ Masih sakit,” kata Lia.
“Sebentar aja juga ilang, coba deh.”
Lia mulai menggoyang badannya naik turun. Seperti dengan Nia Tadi, mungkin karena terlalu hot, penisku berkali-kali lepas. Akhirnya Lia melakukan gerakan maju mundur. Dia mulai mendesis desis. Aku mendengar dia Lia merintih keenakan, nafsuku jadi tinggi, rasanya sudah tidak mampu lagi menahan ejakulasi. Aku berusaha menahannya selama mungkin tetapi akhirnya meledak juga. Namun sesaat kemudian Lia juga mencapai orgasme. Mungkin denyutan semburan spermaku didalam vaginanya mengantar dia mencapai orgasme. Lia ambruk menindih badanku dengan badan penuh keringat.
Aku bangun dan kukatakan kepada mereka bahwa mereka memperkosa aku. “ Abis enak sih pak,” kata Nia.
Keesokan paginya ketika sarapan bersama aku tanyakan kepada mereka, kenapa berani berbuat sejauh itu. Keduanya dengan kepala tertunduk mengatakan bahwa sebenarnya sudah lama keinginan itu. Tapi menurut mereka aku tidak juga tergoda untuk memulai. Nia lalu angkat bicara bahwa mereka mencari cara bagaimana supaya bisa bercumbu dengan aku. Permintaan mereka diajari bercium dan berpacaran sebenarnya adalah strategi untuk aku agar mau bercumbu . “ Maaf ya pak, abis kami sayang banget ama Bapak,” kata Lia menyambung penjelasan Nia.
Setelah itu aku terpaksa membeli pil KB agar mereka tidak sampai hamil. Aku jadi seperti punya dua istri yang sekaligus tidur bersama. Kami aktif melakukan hubungan untuk selanjutnya.
Setelah mereka menyelesaikan kuliah dan bekerja, mereka minta diriku untuk menikahi mereka. Mereka minta dinikahi sekaligus. Aku bingung bagaimana caranya melakukan akad nikahnya, lalu bagaimana duduknya di pelaminan dalam pesta resepsi. Ngaaaaaak kebayaaannng.

Blog, Updated at: 08.12

Kategori

Daftar isi