Sama-sama Tua (1)

Pada sebuah pesta, keluarga kami selalu kompak. Apalagi ketika ayah dan ibu kami masih ada. Jika ada keluarga dekat kami yang mengundang kami untuk menghadiri poesta mereka, kami keluarga besar selalu saja hadir. Setelah ayah dan ibu meninggal, aku sebagai anak kedua setelah di atas saya, abang saya Handono,
kami memiliki empat orang adik lagi.

Aku baru empat bulan menjanda dan abangku yang dua tahun di atasku sudah menjanda empat tahun. Anak-anak kami sudah dewasa, karena usiaku yang sudah 47 tahun, sudah menikahkan ketiga putriku dan abangku Handono juga sudah menikahkan kedua putra putrinya. Abangku Handono kini tinggal sendirian di rumahnya dan aku juga tinggal sendirian di rumahku.

"Udah, kalau mobilmu lagi rusak, biar aku aja yang antar kamu ke rumahmu," kata abangku. Rumah kami memang berjarak 123 Km. Yang satu arah ke utara dan aku arah ke Selatan. Sangat bertolak belakang memang. Tapi abangku memang selalu mengalah kepada adik-adiknya. Akhirnya, aku numpang naik mobil abangku. Walau tidak sebagus mobilku, tapi aku merasa nikmat juga diantar abangku yang sejak kecil kami selalu dekat. Kami sama main layangan, sama-sama naik ke gunung di belakang rumah kami dan sama-sama curi jambu monyet.

Dalam perjalanan entah kenapa kami kembali bernostalgia kenakalan kami. Sampai-sampai kami bercerita tentang kami mandi bersama di kali kecil tak jauh di belakang rumah kami. Sampai kami bercerita kami main ibu dan bapak di belakang ryumah dekat gubuk mBah Surip. Aku jadi ibunya dan abangku Handono jadi bapaknya. Kami tertawa terkekeh-kekeh, sampai kami malu sendiri, ketika ingat masa kecil kami. TIba-tiba kami berdua diam, saat sebagai bapak Handono menaiki tubuhku dan kami main entot-entotan. Mungkin kami malu, karean kami sudah sama-sama tua?

Tiba-tiba Handono memecah keheningan kami, dengan tawanya yang meledak.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku ingat ketika itu, kita mandi di sungai dan kamu masih belum apa-apa. Masih polos. Sekarang kamu tetap cantik dan semuanya menggairahkan," katanya. AKu terkejut mendengar komentarnya. Aku, kamu, sudah sejak kecil kami ucapkan, seakan kami bukan abang-adik, tetapi teman dekat.

"Ikh... Mas Dono, genit," kataku seakan marah.
"Kamu ini, itu kan dulu. Aku hanya terbayang," katanya.
"Ya bayangan zaman dulu. Pasti beda dengan sekarang," kataku.
"Tapi barusan aku justru membayangkan yang sekarang," katanya blak-blakan.
"Bayangkan apa," tanyaku heran.
"Tubuhmu yang dulu krempeng, kini padat berisi, walau sudah tua," katanya.
"Mas Dono ada-ada aja. Membayangkan yang gak-gak aja," kataku.
"Tapi aku ingin bayanganku jadi kenyataan lho?"
"Maksud Mas Dono...?" Abangku Hando tertawa saja.

Dia mengingatkan aku sewaktu kami kecil, kami suka-suka saja bercerita. Mau cakap kotor, mau apa, asal kami berdua, kami bebas. Pernah Bang Handono meminta aku membuka celanaku katanya dia mau lihat tempeku. AKu melakukannya di sebalik batu di sungai kecil itu. Aku juga suka melihat dan memegang titit abangku. Kami pun terbawa arus bercerita masa kecil kami seakan kami bukan abang-adik.

Handono melhat wajahku bersemu merah dan dia tertawa lalu dia berceloteh lagi, seperti kami kembali ke masa anak-anak.
"Kamu pastui seperti aku, lagi jorny," katanya piolos. Aku tertunduk saja tak menjawab dan wajahku semakin panas rasanya. Handono dengan beraninya mengelus pahaku.
"Kenapa Mas," tanyaku. Asal keluar saja pertanyaan itu.
"Aku mau lihat, apa masih seperti dulu..." katanya. AKu kembali kikuk. Tapi yang keluar dari mulutku malah:" Mas dulu. Aku juga mau lihat," kataku.

Sambil menyetir mobil, Handono melepas resletik celananya dan mengeluarkan titinya dari dalam celananya. Ditangkapnya tanganku dan ditariknya untuk meraba tititnya. Dadaku gemuruh, saat aku menggenggam tititnya.
"Tidak seperti dulu, kan?" katanya. Aku hanya berani melirik saja. Tapi dalam otakku, terliontas milik almarhum suamiku. Yang jelas milik Handono lebih panjang dan keras. Dalam udianya 51 tahun, apa benar Handono masih begitu keras tititnya.

Aku menutup mataku dan tetap menggenggam titit Handono dan tempeku benar-benar sudah basah. Hujan rintik-rintik, membuat membuat mobil terpaksa berjalan dengan hati-hati. Akhirnya kami tiba di rumahku dan Handono terus memasukkan mobil ke dalam garasi. Dengan remote, aku menutup garasi dan menutup gerbang.
Setelah mesin mati, Handono memelukku dan melumat bibirku

"Mas..." hanya itu yang keluar dari mulutku. Handono melepas pakaianku bagian bawah, juga melepas celananya, sampai kami sama-sama setengah telanjang. Dia menyeberang dari kursinya ke kursiku, agar stir mobil tidka menghalangi.
"Kamu kangkangi aku dan masukkan ke dalam tempemu. Aku sudah tak tahan," bisiknya. Aku pun mengangkanginya edan memasukkan titinya ke dalam tempeku yang sudah basah kuyup sejak tadi.

Begitu titinya memasuki tempeku, terasa sekali aroma mesum keluar dari tempeku. Handono memelukku dan kami kembali saling pagut dengan liar. Lidah kami terus bermain dan kami lebih banyak mempermainkan lidah kami dan elusan kami. Desah nafas kami saja yang terdengar di garas yang sepi itu.

"Aku sudah mau keluar ni..." bisiknya sembari mengisap lidahku dan memelukku.
"Aku juga..." bisikku dan memeluknya dengan kuat pula.
Saat Handono memelukku sekuat mungkin, aku membalasnya dengan pelukanku yang sekuat mungkin pula. Aku berdesir-desir dengan muntahan dari dalam tubuhku beberapa kali. AKu juga merasakan tembakan lendir dari ujung titit Handono ke dalam rahinku yang terdalam. Kami terus berpelukan dan aku membenamkan wajahku ke lehernya, sampai aku merasakan titinya mengecil dan lepas dari lubang tempeku.

Aku tak berani mengangkat wajahku untuk menatap wajahnya.
"Ayo kita bersih-bersih," katanya meminta aku turun dari pangkuannya. Dengan tertunduk aku turun. Tak sempat kuambil pakaianku, karean Handono juga turun dari mobil dengan setengah telanjang dan kami sama-sama ke kamar mandi. AKu terus tertunduk, namun aku harus akui, aku memang sangat menikmati hubungan seks kami yang terlarang dalam suai kami yang sudah tua.

Blog, Updated at: 11.31

Kategori

Daftar isi